Penulis :
Assafa Sufiania, Alvinsyahb, Edy HADIANc
a, b,c Indonesian Urban Transport Institute
b E-mail:alvinsyah@iutri.org
c E-mail:edy_hadian@iutri.org
Pelayanan angkutan umum di kota Mataram saat ini berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Namun bila ditinjau dari aktifitas pergerakkan didalam kota saat ini, kota Mataram sebagai ibu kota provinsi NTB menunjukkan bangkitan perjalanan yang tinggi dibandingkan dengan kota-kota disekitarnya. Kondisi seperti ini untuk suatu kota besar lazimnya membutuhkan suatu layanan angkutan umum yang handal untuk mengakomodasi kebutuhan mobilitas penduduk yang juga mendukung pertumbuhan ekonomi kota. Saat ini hanya terdapat 2 trayek angkutan umum yang beroperasi di kota Mataram yang kinerja layanannya sudah sangat jauh menurun. Mengacu pada laporan DED Interkoneksi Angkutan Umum Trans Mataram Metro, rata-rata faktor muat (load factor) harian angkutan kota yang beroperasi kurang dari 46% dan cenderung menuju kondisi berhenti operasi (collapse). Situasi inilah yang melatar belakangi masyarakat untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil pribadi selain dari kemudahan dalam memiliki dan mengoperasikannya.
Adanya konsekuensi logis suatu perkembangan kota yang juga dialami oleh kota Mataram, mempengaruhi tingkat perekonomian dan kebutuhan dari kota itu sendiri. Hal ini dapat ditinjau dari pertumbuhan kendaraan bermotor dan tingkat daya beli masyarakat yang saling berbanding lurus dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Terlebih lagi kemudahan dalam kepemilikan kendaraan khususnya sepeda motor semakin menambah terpuruknya pelayanan angkutan umum yang ada. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara acak terhadap 6000 responden, menunjukkan kondisi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor yang sangat tinggi, yaitu sebesar 74% memiliki sepeda motor, dan 23% memiliki mobil dan sepeda motor. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut terhadap data survey tersebut, besarnya potensi perjalanan per hari pada tahun 2015 mencapai 2,2 juta perjalanan orang . Tentu jumlah ini merupakan nilai yang cukup besar jika sebagiannya bisa dikonversikan sebagai potensi pengguna angkutan umum (massal) di kota Mataram. Sebagai ilustrai presentase kepemilikan kendaraan beserta peta bangkitan perjalanan di kota Mataram dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 berikut.
Saat ini kota Mataram juga merupakan kota tujuan awal untuk wisata konvensi dan alam di pulau lombok khususnya dan propinsi NTB umumnya, yang menarik cukup banyak wisatawan dalam negeri dan manca negara. Dengan kondisi akses jaringan jalan yang baik dan konektivitas antar tujuan yang memadai, merupakan salah satu daya tarik yang memudahkan mobilitas perjalanan masyarakat dan wisatawan. Namun dengan tidak adanya pelayanan angkutan umum yang layak, efisien dan ekonomis, dapat menjadi kendala bagi masyarakat khususnya para wisatawan untuk dapat mengakses tujuan-tujuan yang mereka kehendaki. Tentu hal ini akan meninggalkan kesan yang kurang menyenangkan bagi para wisatawan, yang berpotensi mengurangi daya tarik wisatawan kota Mataram yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan kota dari sektor pariwisata.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, sudah saatnya pemerintah baik pusat maupun daerah mengembangkan angkutan umum massal di kota Mataram dan kawasan sekitarnya secara lebih serius untuk meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas serta keterjangkauan biaya perjalanan di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan merevitalisasi trayek angkutan umum yang ada saat ini untuk diubah menjadi trayek angkutan umum massal.
Saat ini pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan telah berencana untuk mengoperasikan angkutan umum massal di kota Mataram dengan target operasi paling lambat pada bulan Desember tahun 2016. Rencana pengoperasian angkutan umum masal ini mengacu kepada “Program Pengembangan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan” yang dicanangkan oleh Kementerian Perhubungan, dan kota Mataram merupakan salah satu kota yang termasuk dalam program tersebut.
Kementerian Perhubungan telah mengalokasikan armada sebanyak 20 bus besar untuk dioperasikan pada tahap awal di kota Mataram. Di lain sisi, Pemerintah Provinsi NTB, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat sebagai pemangku kepentingan telah menganggarkan dana untuk pembangunan infrastruktur penunjang angkutan massal ini dari APBD masing-masing. Meskipun demikian, masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan angkutan umum masal di kota Mataram ini, seperti tidak adanya jalur khusus serta belum adanya lembaga/ badan yang akan mengelola pengoperasian sistem ini.
Secara fisik, kota Mataram mempunyai sistem jaringan jalan yang baik dan memadai, hanya saja secara umum masih mempunyai kendala dalam hal geometrik wall to wall road yang tidak terlalu lebar sehingga cukup sulit untuk dibuatkan lajur khusus angkutan umum masal sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-undang. Namun untuk kondisi saat ini, keterbatasan ruang fisik (geometrik jalan) belum menjadi kekhawatiran, dikarenakan kecepatan arus lalu lintas di jaringan jalan kota Mataram masih dalam kondisi yang relatif baik yaitu sekitar 30-40 km/ jam (Gambar 3), sehingga kebutuhan untuk lajur khusus masih belum diperlukan.
Sumber: Studi Penyelenggaraan Angkutam Masal Kota Aglomerasi Mataram, Kementerian Perhubungan 2015
Gambar 3.Hasil Pemetaan Kinerja Kecepatan Jaringan Kota Mataram
Dengan pola operasional angkutan umum di lalu lintas bercampur (mixed traffic) maka halte pemberhentian tidak dapat diterapkan di median jalan, namun harus berada di sisi bahu (curb) jalan sehingga diperlukan celukan (lay-bay) untuk mengurangi hambatan akibat kegiatan naik dan turun penumpang. Penempatan posisi halte dan lay-bay untuk pemberhentian bus secara prinsip dpat dirancang seperti yang ditunjukan pada Gambar 4 berikut.
Sumber: DED INTERKONEKSI ANGKUTAN UMUM TRANS MATARAM METRO, Dinas Perhubungan Provinsi NTB
Gambar 4. Rancangan Penempatan halte dan Lay-bay Angkutan Massal Mataram
Sebagai konsekuensi keberadaan halte di sisi curb, berpotensi menganggu aktifitas para pejalan kaki, karena sebagian dari lahan untuk trotoar diambil untuk pembangunan halte. Oleh karena itu, dalam implementasi pembangunan halte, perlu disertai dengan perbaikan fasilitas pejalan kaki. Dengan kata lain, lahan pejalan kaki yang terpakai untuk halte dibangun kembali melingkari halte dengan lebar trotoar yang sama, sehingga pejalan kaki tidak terputus akses akibat dari adanya halte dan akan lebih memudahkan para penumpang untuk mengakses halte dengan berjalan kaki.
Kendala lain yang berpotensi mengurangi tingkat layanan angkutan masal ini adalah belum disiapkannya bentuk kelembagaan yang akan mengelola dan mengendalikan pengoperasian serta pengembangan sistem angkutan massal ini. Keberadaan lembaga pengelola ini merupakan salah satu aspek terpenting untuk menjamin keberlanjutan implementasi layanan angkutan umum massal.
Seiring dengan penyediaan 20 armada bus untuk kota Mataram, Kementerian Perhubungan juga telah menugaskan pada Perum DAMRI sebagai operator dari angkutan massal di kota Mataram, namun sayangnya tidak disertai dengan upaya pembentukan lembaga pengelolanya. Untuk menyelenggarakan sistem angkutan umum yang handal, lazim disiapkan suatu bentuk lembaga pengelola yang berfungsi untuk mengawasi dan menjamin operator terhadap kewajibannya untuk memenuhi SPM yang disyaratkan.
Sesuai dengan kerangka regulasi yang berlaku, lembaga pengelola dalam bentuk BUMD merupakan bentuk kelembagaan yang paling optimal. Hal ini dikarenakan bentuk BUMD merupakan lembaga yang independen yang mempunyai fleksibilitas dan otoritas penuh dalam hal pengelolaan, pengawasan layanan, operasional, investasi, pendapatan, SDM dan kontrak dengan pihak ke tiga, serta aset. Sehingga dengan fleksibilitas seperti ini berbagai permasalahan operasional, finansial dan layanan dapat ditangani secara cepat dan responsif. Namun di lain sisi, proses pembentukan BUMD cukup rumit dan memerlukan waktu yang lama karena harus didasarkan atas Perda yang memerlukan persetujuan dari berbagai pihak termasuk lembaga legislatif dan eksekutif .
Mengacu kepada target waktu operasional dari angkutan massal di kota Mataram sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diperlukan suatu bentuk lembaga pengelola yang bisa ditetapkan dalam waktu yang relatif singkat. Ada dua alternatif bentuk kelembagaan yang bisa disiapkan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam bentuk Tim Ad Hoc atau UPTD. Namun kedua bentuk kelembagaan ini memiliki keterbatasan yang cukup signifikan dibandingkan dengan BUMD. Selain itu kedua bentuk kelembagaan tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan dalam hal kewenangan finansial, dimana kewenangan finansial ini memegang peranan krusial dalam kinerja pelayanan.
Salah satu kelebihan dari Tim Ad Hoc adalah dapat mengelola dana yang bersumber dari Non-APBD, seperti dana CSR untuk kebutuhan optimalisasi layanan, pemeliharaan aset, ataupun membantu kompensasi SDM Tim yang bisa direkrut dari pihak ketiga, seperti para pakar dan professional. Jika kewenangan pengelolaan finansial dapat diberikan kepada Tim Ad Hoc, maka pengelolaan layanan angkutan massal dapat dengan mudah mengikuti dinamika opersional bus, dan dapat dengan cepat dan responsif mengatasi masalah layanan, dimana sebagian besar masalah layanan yang terjadi memerlukan dukungan finansial.
Sedangkan kewenangan UPTD terbatas pada pengelolaan operasional bus saja, namun tidak mempunyai kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri karena terikat oleh regulasi sebagai sub-unit dari dinas terkait. Sebagai konsekuensinya UPTD sulit untuk memiliki SDM yang kompten dan profesional, karena hanya bisa memanfaatkan tenaga SDM dari dinas terkait.
Jika lembaga pengelola yang bersifat sementara sudah terbentuk, maka selanjutnya perlu segera dibentuk lembaga yang bersifat lebih permanen (BUMD), agar dapat lebih mengoptimalkan dan meningkatkan kualitas kinerja layanan. Proses transisi dari Tim Ad Hoc menuju BUMD tidak akan memakan waktu yang lebih lama daripada proses transisi UPTD menuju BUMD. Diperkirakan hanya memerlukan waktu 2-3 tahun untuk transisi lembaga dari Tim Ad Hoc menuju BUMD,karena transisi kelembagaan hanya berfokus langsung pada pembentukan BUMD. Selain itu juga tidak akan menimbulkan kejutan budaya bekerja (culture shock), karena karakteristik budaya kerja yang dari awal sudah fleksibel dan tidak terikat birokrasi pada saat Tim Ad Hoc. Di lain sisi proses dari UPTD menuju BUMD memerlukan waktu sekitar 3-4 tahun, karena perlu dirubah terlebih dahulu kedalam bentuk BLUD sebagai proses transisi. Begitu pula halnya dari sisi budaya kerja akan terjadi kendala, akibat budaya kerja yang bersifat birokratis pada bentuk UPTD dan setengah birokratis di BLUD, sehingga berpotensi untuk menghambat proses transisi. Diagram beriut, mengilustrasikan proses transisi bentuk lembaga pengelola Tim Ad-Hoc dan UPTD menuju BUMD.
Sumber: Studi Penyelenggaraan Angkutam Masal Kota Aglomerasi Mataram, Kementerian Perhubungan 2015
Gambar 5. Proses transisi kelembagaan pengelola Angkutan Massal
Dengan pertimbangan fleksibilitas kewenangan finansial dan kemudahan dalam transisi menuju BUMD, Tim Ad Hoc dapat menjadi aternatif utama untuk bentuk lembaga pengelola di tahap awal pengoperasian. Adapun jika ada beberapa pertimbangan lain mengikuti kondisi eksisting, tidak menutup kemungkinan bahwa UPTD dapat menjadi pilihan bentuk lembaga sementara sebelum BUMD.
Namun apapun bentuk kelembagaan yang menjadi pilihan, ada hal krusial terkait pengelolaan yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dalam implementasi angkutan massal di kota Mataram dan sekitarnya. Hal tersebut adalah pendelegasian kewenangan secara tertulis dan formal terhadap lembaga pengelola untuk secara penuh mengelola dan mengatur operasional layanan sesuai dengan SPM. Hal ini diperlukan, mengingat pemerintah pusat secara langsung menunjuk DAMRI sebagai operator tanpa melibatkan lembaga pengelola, yang berpotensi menyebabkan operator tidak beroperasi sesuai SPM karena tidak merasa terikat dan bertanggung jawab terhadap lembaga pengelola dalam menjalankan operasional angkutan massal tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya surat pendelegasian yang bersifat resmi ini, lembaga pengelola mempunyai kewenangan untuk mengatur operasional operator dan memberikan sanksi kepada operator jika kinerja yang dihasilkan tidak sesuai dengan SPM yang diinginkan.
Keberlanjutan sistem angkutan massal ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan manajemen lembaga pengelola saja, namun perlu didukung oleh regulasi-regulasi baik dari sektor perhubungan maupun lainnya, seperti manajemen parkir yang baik dan peningkatan fasilitas pejalan kaki yang disertai dengan penegakkan hukum yang tinggi. Dengan terselenggaranya angkutan umum masal di kota Mataram dan didukung dengan manajemen parkir serta peningkatan fasilitas untuk pejalan kaki, diharapkan akan semakin menarik masyarakat untuk meninggalkan kendararaan pribadi dan beralih menggunakan angkutan umum, serta menarik masyarakat untuk mencoba lebih mencintai berjalan kaki dalam melakukan perjalanan pendek atau menjadikannya sebagai rutinitas sehari-hari.
SUMBER:
LITBANGHUB – IUTRI. 2015. Laporan Akhir Studi Penyelenggaraan Sistem Angkutan Umum Masal di kota Aglomerasi Mataram. Jakarta: Kementerian Perhubungan.
Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kota mataram. 2010. DED Interkoneksi Angkutan Umum Trans Mataram Metro. [ppt]
BSTP – IUTRI. 2010. Penyusunan Rencana Induk Transportasi Perkotaan Pada Kawasan Kota Mataram dan Sekitarnya. Jakarta: Kementerian Perhubungan.