STUDI PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN YANG RAMAH LINGKUNGAN DAN HEMAT ENERGI


Umum

Studi merupakan kajian pengembangan panduan perencanaan sistem angkutan massal perkotaan berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Pendekatan dalam studi ini dilakukan melalui riset literatur dan observasi lapangan ke beberapa kota dengan kategori kota metropolitan yaitu kota Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makasar. Dari hasil kajian literatur yang mencakup aspek teoritis, praktis dan aplikasi, dikembangkan konsep panduan pengembangan sistem angkutan massal perkotaan berbasis jalan yang mencakup aspek perencanaan jaringan, perancangan operasional, pemilihan moda dan teknologinya, penyiapan rencana usaha serta penyiapan rencana implementasinya.

Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas Angkutan Jalan, diamanatkan untuk kota Besar dan kota Raya memiliki sistem angkutan massal jalan berlajur khusus yang harus didukung sistem pengumpan. Namun setelah ditetapkannya undang-undang ini, hingga saat ini belum ada dokumen resmi sebagai jabaran dari undang-undang ini yang ditetapkan guna memandu proses perencanaan sistem angkutan massal berbasis jalan dikawasan perkotaan. Untuk dapat mengembangkan dan menerapkan sistem ini dikawasan perkotaan sesuai dengan amanat undang-undang, perlu ditetapkan suatu bentuk panduan yang dapat dijadikan acuan bagi proses perencanaan angkutan massal berbasis jalan untuk kawasan perkotaan, khususnya kota-kota dengan kategori kota besar dan kota raya.


Prosedur Pedoman Perencanaan BRT

Secara konseptual langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam merencanakan koridor angkutan massal berbasis jalan dijelaskan sebagai berikut:

  • Analisis Permintaan dan Penetapan Koridor
  • Rancangan Operasional:
    • Penentuan Pola Operasi Sistem
    • Perancangan Jejaring dan Layanan
    • Perancangan Rute
    • Penentuan Rentang (Waktu operasional) Layanan
    • Penentuan Frekuensi Layanan
    • Estimasi Jenis dan Jumlah Armada
    • Estimasi Jumlah Platform pada titik layanan(Halte)
    • Penentuan Rancangan titik layanan (Halte)
  • Pemilihan Teknologi Kendaraan BRT
  • Penyiapan Rencana Usaha:
    • Penyiapan Kelembagaan dan Fungsinya
    • Penyiapan Model Usaha (Bisnis)
    • Pola Manajemen dan Operasi dengan Pendekatan Kaidah Bisnis
    • Efisiensi Operasional
    • Pengembangan Perolehan Pendapatan dan Pemasaran
    • Strategi Komunikasi untuk Identitas Lembaga
    • Perencanaan Operasional
    • Kebijakan Tarif dan Subsidi untuk Pengguna (Fare Policy and User Subsidy
    • Penerapan Subsidi
  • Penyiapan Kebijakan Pendukung:
    • Integrasi Moda
    • Manajemen permintaan perjalanan
    • Integrasi dengan Perencanaan Guna Lahan
  • Proses Penyiapan Implementasi Sistem BRT:
    • Rencana Pendanaan
    • Opsi – opsi Pembiayaan Lokal
    • Penentuan operator


Basis Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi

Untuk mencapai sistem transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi, ada beberapa hal yang perlu dijalankan antara lain:

  1. Rekayasa lalu lintas; rekayasa lalu lintas khususnya menentukan jalannya sistem transportasi yang direncanakan. Penghematan energi dan reduksi emisi pencemar dapat dioptimasi secara terpadu dalam perencanaan jalur, kecepatan rata-rata, jarak tempuh per kendaraan per tujuan (vehicle mile trip dan passenger mile trip), dan seterusnya.
  2. Pengendalian pada sumber (mesin kendaraan); jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat transportasi merupakan bagian di dalam sistem transportasi yang akan memberikan dampak bagi lingkungan fisik dan biologi akibat emisi pencemaran udara dan kebisingan. Kedua jenis pencemaran ini sangat ditentukan oleh jenis dan kinerja mesin penggerak yang digunakan.
  3. Energi transportasi; besarnya intensitas emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor selain ditentukan oleh jenis dan karakteristik mesin, juga sangat ditentukan oleh jenis BBM yang digunakan. Seperti halnya penggunaan LPG, akan memungkinkan pembakaran sempurna dan efisiensi energi yang tinggi.

​​Mengacu kepada laporan ITNA tahun 2009, diperoleh urutan prioritas dari hasil seleksi dengan berbasiskan kriteria umum sebagai berikut:

  • Teknologi kendaraan
    1. Continuously Variable Transmission (CVT)
    2. Bahan bakar yang di injeksi langsung (gasoline direct injection)
    3. Bahan berobot ringan
    4. Peningkatan aerodinamis
    5. Teknologi bahan bakar berbasis “cell”
  • Bahan bakar alternatif
    1. LPG
    2. LNG
    3. CNG
    4. Biodiesel
  • Kebijakan/tindakan Manajemen Permintaan Transportasi (TDM)
    1. Perbaikan angkutan umum
    2. Penerapan sistem transportasi cerdas (ITS)
  • Kendaraan tidak bermotor (NMT), urutan prioiritasnya adalah sebagai berikut;
    1. Sepeda
    2. Becak & sejenis
    3. Gerobak
    4. Berjalan kaki


Kesimpulan

Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai berikut :

  • Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah satu definisi yang cukup singkat dan tepat adalah sebagai berikut; angkutan yang mampu mengangkut dan memindahkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula halnya untuk definisi “Angkutan Massal Berbasis Jalan”. Salah satu definisi adalah sebegai berikut; moda angkutan umum cepat yang mampu mengkombinasikan kualitas angkutan massal berbasis rel dengan tingkat fleksibilitas dari angkutan bis.
  • Moda transportasi yang ramah lingkungan dapat didefinisikan sebagai moda yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan, yaitu kendaraan dengan konsumsi bahan bakar yang rendah (efisien), menghasilkan emisi polutan dan suara yang rendah, manufaktur yang ramah lingkungan, menggunakan bahan-bahan pembentuk kendaraan yang optimum dan dapat di daur ulang, serta mempunyai kelebihan lain yang relevan dengan lingkungan.
  • Secara umum, kendaraan yang hemat energi adalah kendaraan dengan konsumsi bahan bakar paling efisien atau ekonomis, dimana efisiensi pengunaan bahan bakar diukur berdasarkan rasio jarak tempuh perjalanan per unit bahan bakar yang dikonsumsi, biasanya dalam km/ liter. Namun bagi sistem angkutan massal yang hemat energi tergantung dari beberapa faktor seperti teknologi peggerak dan jenis bahan bakar, pola operasional bis, keterpaduan rencana jaringan dengan guna lahan dan kebijakan pendukung lainnya.
  • Dengan asumsi ketersediaan dari sumber energi dan kebijakan perlindungan lingkungan, maka sumber energi penggerak dari moda angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan adalah tenaga listrik, gas alam dan Solar bersih.

​Dari hasil observasi lapangan diperoleh gambaran:

  • DKI Jakarta telah menerapkan sistem BRT, sedangkan Palembang, Bandung dan Semarang baru menerapkan sistem semi BRT (sistem Transit). Namun seluruh kota yang diobservasi telah memiliki konsep perencanaan sistem angkutan massal pada tataran makro.
  • Kondisi faktual di tujuh kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, jaringan angkutan umumnya tidak terstruktur dan tumpang tindih serta tidak terintegrasi secara fisik maupun sistem.
  • Angkutan kereta api yang beroperasi di DKI Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan merupakan bagian dari sistem angkutan massal regional namun dalam pelaksanaanya sebagian besar berjalan sendiri-sendiri. Seringkali akses menuju ke stasiun kurang didukung moda angkutan umum lainnya.

​Berdasarkan analisis terhadap data teknis yang diperoleh dari observasi lapangan, Kota Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya sudah layak dilayani oleh angkutan massal berbasis Rel pada koridor-koridor yang sesuai

Penerapan angkutan massal jalan raya lebih sesuai pada koridor-koridor yang perkembangan intensitas guna lahannya linierPenetapan struktur jaringan layanan (Trunk-Feeder atau Direct Service) bisa ditinjau dari perbedaan kepadatan penduduk antar wilayah, jarak antara pusat dan pinggir kota dan besaran permintaan pada koridor yang dikaji.

Regulasi yang mewajibkan penerapan lajur khusus (terproteksi) untuk angkutan massal jalan raya merupakan kendala utama untuk kota-kota besar di IndonesiaSecara substansi, lajur khusus baru perlu diterapkan bila kecepatan tempuh rata-rata pada koridor yang dikaji kurang dari 20 km/jam

Dalam studi ini telah dikembangkan konsep pedoman pengembangan angkutan massal berbasis jalan yang mempertimbangkan konsep ramah lingkungan dan hemat energi

Karena luasnya lingkup definisi dari istilah “pengembangan”, maka pedoman yang dikembangkan difokuskan pendalamannya untuk prosedur perencanaan angkutan massal perkotaan berbasis jalan.

Dari hasil uji coba perencanaan sistem BRT di kota Surabaya dengan prosedur analisis skala penuh dapat ditarik beberapa kesimpulan:

  • Pengoperasian SAUM secara multi koridor (konektifitas antar moda) akan memberikan nilai tambah baik dari jumlah penggunaan SAUM itu sendiri maupun jumlah transaksi (penjualan tiket) dengan catatan adanya integrasi sistem antar koridor SAUM.
  • Perencanaan desain kapasitas hendaknya didasarkan pada volume maksimum yang terjadi di tiap koridor hal ini untuk menjaga seluruh potensi penumpang yang dapat diangkut.
  • Perencanaan kapasitas berdasarkan volume maksimum terlihat over capacity, namun sesungguhnya desain kapasitas berdasarkan volume rata-rata koridor tidak menjamin nilai faktor muat akan semakin baik.
  • Penerapan desain berdasarkan volume rata-rata koridor akan mengakibatkan adanya potensi demand yang tidak terangkut. Hal ini dapat disiasati dengan membuat suatu rute pelayanan khusus, namun nilai load factor mungkin tidak akan lebih baik dibanding desain berdasarkan nilai volume maksimum ruas.
  • Selain itu perlu dicermati bahwa dengan adanya tambahan armada khusus akan berimplikasi tambahan biaya operasional (minimal dari jumlah armada dan SDM lapangan yang lebih banyak).
  • Penggunaan CNG tidak selalu memiliki nilai BOK lebih baik dari bus berbahan bakar diesel. Sedangkan dari sisi emisi bus berbahan bakar CNG menghasilkan emisi (CO2-e) lebih baik dibandingkan bus diesel standar EURO 2 namun tidak lebih baik jika dibandingkan emisi bus diesel EURO 6.
  • Dalam desain SAUM hendaknya memperhatikan kemungkinan peningkatan demand dimasa mendatang.
  • Dengan memiliki nilai perkiraan demand masa mendatang dapat diperkirakan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dapat terjadi.
  • Untuk contoh kasus SAUM di kota Surabaya, sistem articulated bus hanya sanggup melayani demand hingga tahun 2015. Adanya dua opsi bi-articulated atau LRT tentu harus dipertimbangkan saat awal SAUM direncanakan terutama berkaitan dengan penyediaan lahan (memperkirakan desain halte, koridor, utilitas, sarana dan prasarana pendukung).

Rekomendasi

  • Urutan prioritas untuk kebijakan penggunaan bahan bakar angkutan massal perkotaan berbasis jalan adalah moda dengan teknologi penggerak berbasiskan: tenaga listrik, bahan bakar gas alam dan Solar bersih
  • Dalam konteks penggunaan energi alternatif untuk sumber tenaga listrik bisa mulai mempertimbangkan penggunaan teknologi nuklir
  • Kebijakan penggunaan bahan bakar gas alam untuk sistem BRT di Indonesia harus merupakan kebijakan yang bersifat transisional untuk sampai pada penggunaan teknologi penggerak listrik baik yang didasarkan dari tenaga pembangkit konvensional maupun tenaga pembangkit berbasiskan tenaga nuklir
  • Kriteria (teknis) utama untuk penetapan sistem operasional Angkutan Massal Jalan Raya adalah besarnya permintaan (demand) dan kecepatan tempuh rata-rata (operasional) pada masing-masing koridor
  • Pola operasional sistem Transit atau BRT di Indonesia harus menggunakan pendekatan jejaring dan sistem teknologi pintar (ITS).
  • Pengelolaan angkutan massal jalan raya (BRT) harus diserahkan pada suatu lembaga pengelola yang terpisah dari Regulator/Otorita & Operator.
  • Rencana Operasional sistem BRT di kota-kota Indonesia mutlak harus memiliki rencana usaha (Bisnis Plan)
  • Regulator/Otorita harus memberikan kewenangan penuh pada lembaga pengelola untuk mengelola secara profesional & menerapkan pendekatan bisnis pada skala penuh
  • Perlu adanya satu standar baku karena beberapa standar faktor emisi yang dikembangkan untuk Indonesia masih kurang (terutama untuk kendaraan dan moda transportasi dengan standar teknologi baru ).
  • Perlu adanya standarisasi komponen dan unit harga satuan untuk perhitungan BOK mengingat hingga saat ini komponen-komponen dan unit harga satuan tiap komponen tidak banyak dipublikasikan.

Penulis: Edy Hadian